Di kisahkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
terlebih dahulu sampai di sumber mata air Badar dan memutuskan untuk berhenti
di tempat itu. Dan itu merupakan sebahagian dari strategi agar pasukan kaum
muslimin dekat dengan sumber air. Melihat hal itu, Habab ibn Mundzir
berkata, “Wahai Rasulullah! Mengapa engkau memilih tempat ini sebagai
pemberhentian kita? Apakah tempat ini memang telah ditentukan Allah kepadamu
dan kita tidak dapat memajukan atau mengundurkannya sedikitpun, ataukah ini
adalah sebahagian dari pendapat, strategi, dan siasat perang?” Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ini hanyalah sekadar pendapat, stategi,
dan taktik perang.”
Maka Habab berkata, “Wahai Rasulullah,
jika demikian halnya, aku juga ingin mengemukakan pendapatku. Menurutku, tempat
ini tidak tepat untuk kita berhenti. Sebaiknya kita terus berjalan hingga
sampai di mata air yang paling dekat dengan perkemahan bangsa Quraisy. Setelah
itu, kita duduki tempat tersebut dan kita hancurkan seluruh sumur yang ada di
seberangnya dan menjadikannya kolam penampungan air. Lalu, kita penuhi kolam
itu dengan air dan kita baru menyerang mereka. Dengan begitu, nescaya kita akan
dapat minum air itu sedang mereka sama sekali tidak bisa meminumnya.”
Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Pendapatmu sangat bagus!” Kemudian, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menjalankan taktik yang ditawarkan oleh Habab ibn Mundzir radhiallahu ‘anhu. Petunjuk yang diberikan oleh Habab ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan riwayat munqathi’ -Ibnu Hisyam (2/312-313), atau dengan riwayat mursal dan terhenti pada Urwah sebagaimana yang tertulis dalam al-Ishabah (1/302), Hakim (3/446-447). Riwayat tersebut dinilai sebagai hadis munkar oleh Dzahabi dan Umawi sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (3/293) dengan silsilah periwayatan yang munqathi’ (terputus).
Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Pendapatmu sangat bagus!” Kemudian, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menjalankan taktik yang ditawarkan oleh Habab ibn Mundzir radhiallahu ‘anhu. Petunjuk yang diberikan oleh Habab ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan riwayat munqathi’ -Ibnu Hisyam (2/312-313), atau dengan riwayat mursal dan terhenti pada Urwah sebagaimana yang tertulis dalam al-Ishabah (1/302), Hakim (3/446-447). Riwayat tersebut dinilai sebagai hadis munkar oleh Dzahabi dan Umawi sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (3/293) dengan silsilah periwayatan yang munqathi’ (terputus).
Ketika mereka telah berhasil menduduki
tempat yang dimaksud, Sa’ad ibn Muadz berkata kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam, “Wahai Nabi Allah! Tidakkah kami perlu membangun khemah khusus
untuk tempat istirahatmu, menyiapkan haiwan kenderaanmu dan kemudian kita baru
menyerang musuh kita? Sungguh, seandainya Allah memberikan kemenangan dan
kejayaan kepada kita atas musuh-musuh kami, maka itulah yang kami inginkan.
Namun, bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, maka engkau sudah siap
untuk menyelamatkan diri dan menemui kaum kita. Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ada beberapa kaum yang menantimu di tanah air kita dan kecintaan mereka
terhadapmu lebih besar dari kami. Sehingga, bila mereka mendengar bahawa engkau
berperang, nescaya mereka pun tidak akan tinggal diam. Allah pasti akan
melindungimu dengan mereka. Sebab mereka pasti akan memberimu pertimbangan dan
senantiasa berjuang di belakangmu.” Maka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
pun menyepakati usulan Sa’ad tersebut.
Meskipun demikian, perlu digarisbawahi
bahawa saat terjadinya perang Badar tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam ikut berperang aktif dan terlibat langsung dalam pertempuran. Jadi,
beliau tidak hanya berada di dalam khemah dan berdoa saja sebagaimana difahami
oleh sebahagian ahli sejarah.
Ahmad menuturkan: Ali radhiallahu ‘anhu
menceritakan, “Kalian tentu telah menyaksikan bagaimana kami pada saat pecahnya
perang Badar. Saat itu, kami berlindung di belakang Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam, sedang beliau terus membawa kami mendekati musuh. Dan beliau
adalah orang yang paling berani ketika itu.”
Dengan isnad yang sama, sebuah hadis
lain menuturkan, “Ketika keberanian mulai memuncak pada saat perang Badar, kami
terus bergerak bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Bahkan,
beliau adalah orang yang paling berani. Terbukti, tidak ada satu pun kaum
muslimin yang paling dekat dengan musuh selain beliau.”
Muslim meriwayatkan: Pada perang Badar,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada para sahabatnya, “Jangan
ada seorang pun di antara kalian bergerak sebelum aku memberi arahan.” Ibnu
Katsir berkata, “Beliau terjun dan terlibat langsung dalam pertempuran itu
dengan segenap jiwa dan raga. Demikian halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Sehingga, keduanya tidak hanya berjuang dengan berdoa dan bermunajat kepada
Allah di dalam khemah saja, tetapi juga turun ke medan pertempuran dan bertempur
dengan mengerahkan segala daya dan upaya.”
Demikianlah, setelah pada siang harinya
mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk
memenangkan pertempuran, pada malam harinya beliau menghabiskan waktunya untuk
terus berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberikan kemenangan terhadap
pihak tentara Islam. Adapun salah satu doa beliau saat itu adalah seperti yang
diriwayatkan dalam Shahih Muslim berikut:
“Ya Allah, sempurnakanlah kepadaku segala apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam, tentulah Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini.”
“Ya Allah, sempurnakanlah kepadaku segala apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam, tentulah Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini.”
Sebuah riwayat mengatakan: Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam terus berdoa sampai kain sorbannya terjatuh dari
kedua pundak beliau. Kemudian, Abu Bakar datang menghampiri beliau, mengambil
sorban beliau yang terjatuh dan kemudian memakaikannya kembali ke pundak
beliau. Setelah itu, ia pun melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam di belakangnya. Setelah itu, Abu bakar berkata,
“Wahai Nabi Allah, tidakkah sudah cukup permohonanmu kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala, kerana sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi seluruh janji-Nya
kepadamu?” Maka Allah berfirman,
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut- turut’.” (QS. Al-Anfal: 9)
Dan benar, esok harinya, Allah mengirimkan bala bantuan kepada mereka berupa pasukan tentara malaikat.”
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut- turut’.” (QS. Al-Anfal: 9)
Dan benar, esok harinya, Allah mengirimkan bala bantuan kepada mereka berupa pasukan tentara malaikat.”
Adapun doa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam pada saat perang Badar yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah:
”Ya Allah, hamba memohon kepada Engkau akan janji dan perjanjian Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak (membuat hamba kalah), Engkau tidak akan disembah setelah hari (peperangan) ini.”
”Ya Allah, hamba memohon kepada Engkau akan janji dan perjanjian Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak (membuat hamba kalah), Engkau tidak akan disembah setelah hari (peperangan) ini.”
Riwayat lain menceritakan: Lalu Abu
Bakar memegang tangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan kemudian
berkata, “Sudahlah Rasulullah, engkau sudah meminta dan mendesak Tuhanmu tanpa
henti!” Esok harinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju
besi dan kemudian keluar dari khemahnya seraya berkata, “Golongan itu (pasukan
Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS.
Al-Qamar: 45)
Ibnu Hatim menceritakan: Ikrimah
berkata, “Ketika diturunkannya ayat ‘ … golongan itu (pasukan Quraisy) pasti
akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang … ‘, Umar berkata alam hati,
“Golongan manakah yang akan dikalahkan itu?”
Umar radhiallahu ‘anhu juga
menceritakan: Ketika perang Badar dimulai, aku melihat Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi sambil berkata, Golongan itu (pasukan
Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” Maka, aku
segera mengetahui maksud ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
tersebut.”
Pada hari Jum’at pagi, tanggal 17
Ramadhan, tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika kedua belah pihak (muslim dan
Quraisy) sudah saling berhadapan dan sedang mengambil ancang-ancang untuk
saling menyerbu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Allah
seraya berkata:
“Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan bongkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
“Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan bongkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Setiap kali akan berangkat bertempur,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam selalu terlebih dahulu merapatkan barisan
pasukan kaum muslimin. Dia melakukan inspeksi barisan seraya menggenggam sebuah
anak panah. Saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam sedang melakukan
pemeriksaan barisan, tiba-tiba beliau menekankan anak panah beliau ke perut
Sawad ibn Ghaziyyah. Sebabnya, waktu itu ia agak sedikit keluar dari barisan.
Beliau berkata kepadanya, “Sawad, luruskan barisanmu!” Sawad pun menjawab,
“Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka bolehkah aku membalasmu?” Maka
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam membuka bagian perut beliau seraya
berkata, “Lakukanlah!” Akan tetapi, Sawad ternyata tidak jadi membalas, tetapi
jesteru memeluk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan mencium bagian perut
beliau. Dengan heran, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya, “Apa yang
membuatmu seperti ini, Sawad?” Sawad menjawab, ”Wahai Rasulullah, seperti
itulah yang aku inginkan. Sesungguhnya aku telah berharap agar mati setelah
bisa menyentuhkan kulitku dengan kulitmu.” Lantas, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam pun mendoakan Sawad dengan hal yang baik-baik.
Setelah itu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam memberikan berbagai arahan dan pengarahan kepada pasukan muslim
tentang berbagai hal yang berkaitan strategi dan siasat mereka hari itu. Beliau
berkata, “Apabila mereka mendekati kalian, maka serang mereka dengan anak panah
kalian dan jangan sampai didahului oleh mereka! Ingat, jangan sampai kalian
melupakan pedang kalian hingga kalian lengah dan dapat dirobohkan.”
Setelah berpesan demikian, beliau lantas
mengobarkan semangat pasukan muslimin dengan berkata, “Demi Allah yang jiwa
Muhammad berada di genggaman-Nya, setiap orang yang berperang melawan mereka
(pasukan Quraisy) pada hari ini, kemudian mati dalam keadaan tabah,
mengharapkan keredhaan Allah, maju terus pantang mundur, pasti akan dimasukkan
ke dalam surga. “
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim dikatakan bahawa ketika kaum musyrikin telah mendekat, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Bangkitlah kalian untuk menuju syurga yang
luasnya seperti luas langit dan bumi.” Mendengar ucapan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam tersebut, Umair ibn Humam al-Anshari berkata, “Wahai
Rasulullah! Apakah benar syurga memiliki luas seperti luas langit dan bumi?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Benar.” Dengan terkagum-kagum,
Umair berucap, “Oh, betapa besarnya surga itu!” Lalu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam bertanya kepada Umair, “Mengapa engkau berkata demikian?” Umair
menjawab, “Tidak, Rasulullah. Demi Allah, aku hanya berharap menjadi sebahagian
dari penghuninya.” Beliau berkata, “Engkau akan menjadi salah satu penghuninya.
“
Kemudian, ia mengeluarkan beberapa butir
kurma dan memakannya. Setelah itu, ia berkata, “Seandainya aku masih hidup dan
dapat memakan kurma-kurma ini, maka itu adalah kehidupan yang sangat panjang.”
Lalu ia melemparkan kurma yang ada di genggamannya dan kemudian menjadi
beringas bertempur sampai akhirnya terbunuh.
Auf ibn Harits (putra Afra) berkata,
”Wahai Rasulullah, apa yang membuat Allah tersenyum saat melihat hamba-Nya?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ketika tangan seorang hamba
itu menceburkannya ke tengah-tengah musuh tanpa mempergunakan pelindung.” Maka,
seketika itu juga Auf membuka pakaian besi yang melindunginya, dan kemudian
melemparkannya. Setelah itu, ia menghunus pedangnya dan bertempur di medan
perang sampai terbunuh.”
Sebelum dimulainya peperangan,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam meminta kepada para sahabatnya untuk
tidak membunuh orang-orang dari Bani Hasyim dan beberapa orang lainnya.
sebabnya, mereka ikut meninggalkan kota Mekah dan berperang kerana dipaksa.
Dan di antara mereka yang disebutkan namanya oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam adalah Abu Bukhtari ibn Hisyam (salah satu orang yang pergi ke Ka’abah
untuk merobek surat pemboikotan bangsa Quraisy terhadap kaum muslimin dan ia
sama sekali tidak menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam) dan Abbas
ibn Abdul Muthalib.
Ketika Abu Hudzaifah mendengar perintah
itu, ia berkata, “Apakah kami harus membunuh bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
dan keluarga kami, sementara kami harus membiarkan Abbas hidup? Demi Allah,
bila aku bertemu dengannya, nescaya aku akan menebasnya dengan pedang.”
Akhirnya, ucapan tersebut sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam Maka, beliau pun berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafshah, benarkah ia
akan memukul wajah paman Rasulullah dengan pedang?” Umar berkata, “Wahai
Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya dengan pedang. Demi Allah, ia
telah berbuat kemunafikan.” Sementara itu, beberapa waktu kemudian, Abu
Hudzaifah berkata, “Aku merasa tidak tenteram dengan kata-kataku saat itu.
Bahkan sampai sekarang aku masih merasa takut, kecuali bila aku sudah
menebusnya dengan kesyahidan.” Maka, akhirnya Abu Hudzaifah pun mati syahid
pada perang Yamamah.
Dikisahkan bahawa sebelum peperangan
dimulai, Asad ibn Abdul Asad al-Makhzumi keluar dari pasukan Quraisy seraya
berkata, “Demi tuhan, aku sungguh-sungguh akan meminum air kolam mereka, akan
merosaknya (kolam air), atau mati di hadapannya.” Maka, ketika ia sudah
mendekat, Hamzah pun merintanginya dan menyerangnya. Hamzah berhasil memukulnya
hingga kakinya retak. Akan tetapi, Asad masih terus merangkak menuju ke kolam
guna memenuhi sumpahnya dan Hamzah terus mengikutinya, memukul, dan akhirnya
membunuhnya di depan kolam tersebut.
(Sumber: As-Sirah an-Nabawiyyah fii Dhau’I
al-Mashaadir al-Ashliyyah: Diraasah Tahliiliyyah at kisahislam.com)